Ada orang-orang yang kehadirannya menebarkan kesejahteraan kepada orang –orang disekitarnya. Dan ada pula orang-orang yang kehadirannya menyebabkan bencana di sekitarnya; yang menyebabkan Allah. Swt. menurunkan adzab kepada mereka. Yang pertama kita sebut berkah, sedangkan yang kedua kita namakan laknat.
Dalam bahasa Inggris dikenal dua istilah seperti itu. Yang pertama disebut blessing yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai rahamt atau berkah; yaitu suatu manfaat yang timbul secara gaib pada diri seseorang atau lingkungan tertentu. Satu manfaat besar yang tidak bisa dijelaskan kecuali dengan penjelasan supranatural.
Kalau ada satu peristiwa yang kelihatannya atau diduga secara rasional mendatangkan bencana tapi di kemudian hari mendatangkan manfaat besar, orang Inggris menyebutnya blessing in disguise, berkah yang tersembunyi..
Sebagai lawan kata blessing adalah curse, yakni bencana yang timbul karena sebab-sebab yang tidak bisa kita lihat. Di dalam alam semesta ini tidak hanya berlaku hukum sebab-akibat, yang bersifat empiris dan dapat dilacak melalui penelitian ilmiah, akan tetapi ada juga hubungan sebab-akibat yang tidak bisa dilacak secara empiris, tapi ditunjukkan oleh oleh Allah Swt di dalam Al-Quran, atau oleh Rasulullah di dalam hadits.
Berkah dan laknat termasuk dalam kategori dunia yang kedua itu, yaitu dunia yang tidak empiris. Keduanya membentuk hubungan sebab-akibat yang mempengaruhi kehidupan kita di luar hal-hal yang empiris. Di luar hal-hal yang bisa kita ikuti dengan pancaindera kita, atau hal-hal yang dapat kita jelaskan melalui penelitian ilmiah.
Al-Quran menyebutkan bahwa ada dunia-dunia yang melingkupi kehidupan kita ini. Dunia yang pertama disebutkan oleh Al-Quran sebagai dunia syahadah, dunia empiris, dunia dalam kehidupan sehari-hari.. Dunia yang bisa kita lihat dengan pancaindera kita dan bisa kita selusuri secara ilmiah. Peredaran matahari, tumbuhnya pepohonan, atau mungkin transaksi bisnis. Semuanya berada dalam dunia syahadah.
Ada dunia lain yang disebut dunia gaib yang di situ pun berlaku hubungan sebab-akibat sama seperti kehidupan di dunia syahadah. Dalam Al-Quran, Allah menyifati diri-Nya sebagai Zat yang mengetahui yang gaib dan yang tidak gaib (syahadah).
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (QS 59:22).
Berkah dan laknat berada di dunia gaib itu; yang kemudian mempengaruhi perilaku kita di dunia syahadah.
Karena Rasulullah Saw menjadi manusia yang paling takwa, maka kehadirannya mendatangkan pintu berkah kepada orang yang disekitarnya. Berliau adalah manusia yang beriman dan bertakwa. Menurut Al-Quran, kalau suatu penduduk bumi beriman dan bertakwa, maka Allah bukakan keberkahan dari langit dan bumi. Al-Quran bahkan menegaskan bahwa kedatangan Rasulullah Saw mandatangkan rahmat untuk sekalian alam.
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS 21:107). Rahmat yang disebutkan oleh ayat ini termasuk salah satu berkahnya.
Ketika Rasulullah ber-isra’-mi’raj—dari Masjid Al-haram ke Masjid Al-Aqsha—dinyatakan oleh Al-Quran bahwa Allah Swt memberkati tempat-tempat disekitarnya. Kepercayaan bahwa Rasulullah Saw mendatangkan berkah kepada orang-orang disekitarnya dihayati betul oleh sahabatnya yang mulia. Sehingga di kalangan sahabat ada kebiasan mengambil berkah dari kehadiran Rasulaullah Saw. Dalam bahasa Arab kebiasan mengambil berkah itu disebut al-tabarruk.
Kadang-kadang Nabi sendiri mengajarkan kepada para sahabatnya untuk mengambil berkah dari kehadirannya. Para sahabat bercerita, misalnya, bagaimana menjelang waktu shubuh budak-budak belian di sekitar Madinah disuruh majikannya datang menemui Rasulullah dengan membawa wadah berisi air. Mereka datang hanya ingin agar Rasulullah mencelupkan jari-jemarinya ke dalam air untuk dipergunakan wudhu oleh tuan-tuan mereka yang menyuruhnya.
Kalau ada anak yang baru lahir, anak itu dibawa kepada Rasulullah Saw. Nabi yang mulia meletakkan ibu jarinya di atas dahi anak yang baru lahir itu. Beliau mengusapkannya dari pangkal hidung sampai ke dekat ubun-ubun anak tersebut. Kebiasaan semacam ini disebut dengan tahnik. Banyak sekali sahabat Rasulullah yang di-tahnik oleh Nabi Saw, sehingga ada seorang ulama yang menulis buku dan menyusun daftar nama para sahabat—dari alif sampai ya’ sesuai abjad—yang pernah di-tahnik oleh Rasulullah Saw. Para sahabat itu sendiri biasanya dikenal dari bekas tahnik-nya. Jadi, para sabahat yakin bahwa sentuhan Rasulullah Saw mendatangkan berkah kepada mereka.
Pernah ada seorang perempuan, sahabat wanita, menyaksikan Rasulullah Saw tidur di waktu siang hari. Dalam bahasa Arab tidur di siang hari itu disebut dengan qaylulah, yang menjadi kebiasaan bagi orang-orang yang tinggal di daerah yang panas. Biasanya beliau tidur di luar rumah, di kebun yang sejuk. Sahabat wanita ini melihat Rasulullah tidur dan keringatnya menetes dari dahinya. Wanita itu kemudian mengambil pinggan untuk menadahi tetesan keringat Rasulullah Saw. Ketika Nabi terbangun dan terkejut, wanita itu kemudian meminta izin kepada Rasulullah untuk meminta dan menyimpan keringatnya. (Lihat Musnad Ahmad III: 136; Shahih Muslim IV: 1815). Keringat, seklipun dipandang oleh para sahabat Nabi sebagai sesuatu yang mendatangkan berkah karena keringat itu adalah keringat orang yang saleh, orang takwa kepada Allah Swt.
Dalam riwayat lain, ketika Rasulullah Saw melakukan Haji Wada’ dan sampai di Mina, beliau melakukan tahallul dan menggunting rambut sampai bersih (Pada sebagai mazhab disyaratkan bila seorang laki-laki melakukan ibadah haji untuk pertama kalinya, maka tahallul yang dilakukannya haruslah seperti tahallul Rasulullah; yaitu mengguntingnya sampai bersih dan tidak hanya menggunting sebagain rambut). Pada saat Rasulullah melakukan tahallul di Mina itu, rambut Rasulullah Saw diperebutkan oleh sahabat-sahabatnya. Khalid bin Walid menyimpan salah satu lembaran-lembaran rambut Rasulullah Saw yang diperolehnya waktu itu. Jadi, bahkan sampai rambut sekalipun dipercayai oleh para sahabat, kalau datang dari orang yang paling takwa, dapat membukakan pintu berkah bagi mereka.
Saya ingin memberikan contoh yang terakhir yang oleh Imam Al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim diartikan sebagai contoh dari Nabi tentang sunnahnya mengambil berkah dari orang-orang yang shaleh. Anas bin Malik pernah mengundang Rasulullah Saw datang ke rumahnya untuk makan bersama di rumah Anas bin Malik. Setelah makan, Rasulullah dimohon shalat di rumah Anas bin Malik. Nabi yang mulia kemudian meminta supaya Anas menyediakan sebuah bejana berisi air. Rasulullah memercikan air tersebut ke sudut-sudut rumah Anas. Ia minta ditnjukkan tempat shalat. Di situ Rasulullah Saw melakukan shalat yang bukan pada waktu shalat.
Imam Al-Nawawi mengatakan bahwa shalat yang dilakukan oleh Rasulullah Saw itu untuk menaburkan berkah kepada keluarga Anas, seklaigus memberikan contoh tentang pengambilan berkah dari orang-orang yang shaleh. Menurut dalil tersebut, berkah datang dari kedatangan orang-orang yang saleh. Menurut dalil tersebut, berkah datang dari kehadiran orang-orang yang saleh. Dan itulah sebabnya Nabi Saw bersabda; ”Hendaknya yang memakan makanan kamu itu orang-orang yang bertakwa”.
Kalau kita mengundang orang-orang yang takwa ke rumah kita, maka kehadiran mereka akan memberkati makanan kita. Kalau mereka tidur di rumah kita, tidurnya mendatangkan berkah di rumah kita. Seperti kata Al-Quran, ”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi...(QS 7:96). (Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik, Bandung, Mizan 1996, hal. 221-225).
Dari pemaparan di atas yang ditunjang oleh beberapa dalil dari ayat suci Al-Quran, Sunnah Nabi Saw, dan Itjihad ulama, maka terang bagi kita semua bahwa ritual tabarruk atau ngalap barokah alias mengambil berkah adalah tidak terlarang, tidak bid’ah apalagi musyrik. Bahkan seperti yang dikatakan oleh Imam Al-Nawawi bahwa mengambil berkah dari orang-orang saleh itu adalah sunnah. Bagi orang-orang yang berpikiran terbuka—tidak terlalu terikat oleh dogma tertentu—dan benar-benar mencari kebenaran yang bersumber dari agama, tentu saja gampang sekali untuk menerima ”kenyataan” ini, walau bagi sebagaian orang yang ”anti barokah” dan penuduh ”kultus individu”, pembuktian teologis semacam ini sungguh menyakitkan. Agar lebih ”menyakitkan” lagi, saya akan tunjukkan lagi beberapa hadits Nabi yang menunjukkan sunnahnya tabarruk. Baca, camkan, imani, dan laksanakan!
Urwah al-Tsaqafi, salah seorang utusan Mekkah dalam perjanjian Hudaibiyah melaporkan kepada kaumnya, ”Orang Islam itu luar biasa! Demi Allah, aku pernah menjadi utusan menemui raja-raja. Aku pernah berkunjung kepada Kaisar, Kisra, dan Najasyi. Demi Allah, belum pernah aku melihat sahabat-sahabat mengagungkan rajanya, seperti sahabat-sahabat mengagungkan Muhammad. Demi Allah, jika ia meludah, ludahnya selalu jatuh pada telapak tangan salah seorang di anatara mereka. Ia usapkan ludah itu ke wajahnya dan kulitnya. Bila ia memerintah, mereka berlomba melaksanakannya; bila ia hendak wudhu, mereka hampir berkelahi untuk memperebutkan air wudhunya. Bila ia berbicara, mereka merendahkan suara di hadapannya.Mereka menundukan pandangan di hadapannya karena memuliakannya (Shahih Bukhari 3:225).
Dalam persistiwa lain, beliau bahkan menganjurkannya. Ketika beliau tidur siang di rumah Ummu Sulaym, yang empunya rumah menampung keringat beliau pada sebuah botol. Ketika Nabi Saw terbangun dan bertanya, ”Apa yang kamu lakukan wahai Ummu Sulaym?” ia menjawab, ”Ya Rasulullah, kami mengharapkan berkahnya buat anak-anak kami.” Mendengar itu, Nabi Saw bersabda ”Ashabti. Engkau benar” (Musnad Ahmad 3:221-226; Shahih Muslim 4: 1815).
Abu Hurairah berceritera; Seorang laki-laki datang menemui Nabi Saw. Ia berkata, ”Ya Rasulullah, saya menikahkan anak perempuan saya. Saya ingin sekali engkau membantu saya dengan apapun.” Nabi Saw bersabda, ”Aku tidak punya apa-apa. Tapi, besok datanglah kepadaku. Bawa botol yang mulutnya besar...” Pada esok harinya, ia datang lagi. Nabi Saw meletakkan kedua sikunya di atas botol dan keringat beliau mengalir memenuhi botol itu (Fath Al-Bari 6: 417; Sirah Dahlan 2:255; Al-Bidayah wa Al-Nihayah 6:25).
Kita tidak tahu apa yang dilakukan oleh sahabat itu dengan sebotol keringat Nabi. Mungkin ia menyimpannya baik-baik, menggunkannya sebagai minyak wangi (seperti Ummu Sulaym), atau mewasiatkan kepada ahli waris supaya botol iu—walaupun keringatnya sudah tidak ada—dikuburkan bersama jasadnya (seperti yang dilakukan sahabat Anas bin Malik). Apakah perbuatan para sahabat itu kultus individu? Kultus individu adalah istilah yang tidak jelas maknanya. Frasa ini lebih banyak digunakan untuk ”memukul” (paham yang tidak sama dengan kita), bukan untuk menjelaskan. (Ibid, hal. 297-298).
Tradisi ngalap barokah ini dapat dengan mudah kita saksikan di komunitas muslim Indonesia. Dari dahulu sampai sekarang, mayoritas umat Muslimin di Indonesia masih memelihara tradisi Islam ini. Mulai dari mendatangi makam para wali dan orang-orang saleh, sampai mencari dan mendatangi orang-orang--biasanya para ulama atau Mursyid aliran thoriqot tertentu--yang mereka anggap sebagai awliya Allah atau orang suci. Baru setelah Wahabi dengan paham salaf-nya mulai menyebar di negeri ini, maka ritus inipun mulai ”diobok-obok” dan dipertanyakan otentisitasnya. Tapi bagi pelaku tabarruk ”santai” saja! Karena pendiri Wahabisme ini, Muhammad bin Abdul Wahhab ini merupakan murid Ibn Qayyimal-Jauziyah. Ibn Qayyim sendiri merupakan murid Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah adalah pemuka mazhab Hanbali. Dan Ibnu Taimiyah merupakan merupakan tokoh yang sangat kontroversial. Banyak ulama Indonesia yang mengkafirkan Ibnu Taimiyah. Dan paham salafiyah merupakan sebuah paham yang sebenarnya banyak berbeda dengan paham Asy'ariyah (yang diikuti di Indonesia itu).
Sekarang masalahnya adalah, ”Sudahkan kita menemukan kekasih (wali/auliya) Allah itu?” Ketahuilah, bahwa kedudukan para wali itu sangat istimewa dan tinggi di sisi Allah. Perhatikah hadits berikut:
Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya dari kalangan para hamba Allah ada segolongan orang yang bukan nabi dan bukan pula syuhada, namun para nabi dan para syuhada’ berebut dengan mereka dalam kedudukan terhadap Allah.”
Orang pun bertanya, “Wahai Rasulullah, ceritakan kepada kami siapa mereka itu dan apa amal perbuatan mereka. Sebab kami senang kepada mereka karena yang demikian itu.”
Nabi menjawab, “Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, dengan Ruh Allah, tidak atas dasar pertalian keluarga antara sesama mereka dan tidak pula karena harta yang mereka saling beri. Demi Allah, wajah mereka adalah cahaya terang, dan mereka berada di atas cahaya terang. Mereka tidak merasa takut ketika semua orang merasa takut, dan mereka tidak merasa kuatir ketika semua orang merasa kuatir.” Dan beliau membaca ayat ini: Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tiada rasa takut pada mereka dan tidak pula mereka merasa kuatir. (Kitab Fath al-Bari, Syarh Sahih al-Bukhari)
Hakim at-Tirmidzi lahir di Tirmidz, Uzbekistan, Asia Tengah pada tahun 205 H/820 M. Nama lengkapnya adalah Abu Abd Allah Muhammad bin Ali bin Hasan al-Hakim at-Tirmidzi. Ia berasal dari keluarga ilmuwan ahli fiqih dan hadits. Memasuki puncak ketasawufan setelah mengalami goncangan batin sebagaimana yang di kemudian hari dialami al-Ghazali. Ia mendefinisikan Wali Allah adalah seorang yang demikian kokoh di dalam peringkat kedekatannya kepada Allah (fi martabtih), memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti bersikap shidq (jujur dan benar) dalam perilakunya, sabar dalam ketaatan kepada Allah, menunaikan segala kewajiban, menjaga hukum dan perundang-undangan (al-hudud) Allah, mempertahankan posisi (al-) kedekatannya kepada Allah. Dalam keadaan ini, menurut at-Tirmidzi, seorang wali mengalami kenaikan peringkat sehingga berada pada posisi yang demikian dekat dengan Allah, kemudian ia berada di hadapan-Nya, dan menyibukkan diri dengan Allah sehingga lupa dari segala sesuatu selain Allah.
Tetapi ketahuilah, bahwa adanya sosok orang tersebut lebih susah mencarinya daripada belerang merah dan bila engkau berbahagia dan kebahagiaan yang tidak ada duanya apabila engkau menemukan sosok seperti itu, bila engkau telah bertemu dengan dia, jangan sampai berpisah lagi dan layanilah dia dengan:
1. tangan dan kemampuanmu;
2. harta kekayaanmu;
3. kekuatanmu;
4. peliharalah hatinya
5. peliharalah waktunya
6. pelihara jejak langkahnya atau sunnah-sunnahnya.
Karena dia adalah—sekali lagi—ahli waris atau penerus Rasulullah SAW yang wajib kita bela dan kita cintai.

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda