“Hidup merupakan perjalanan panjang menuju Tuhan.” Kalimat tersebut ditulis tebal dan besar oleh temanku, di halaman sampul salah satu buku miliknya yang berjudul “Menafsirkan Kehendak Tuhan” karya Komarudin Hidayat. Saya tak tahu pasti siapa “pencipta” ungkapan itu, entah temanku sendiri atau orang lain. Tapi yang pasti, ungkapan tersebut merupakan cerminan dari hasil kontemplasinya yang cukup mendalam mengenai “Tuhan”.
Dalam Al-Quran tercatat pengalaman ruhaniah Nabi Ibrahim dalam menemukan Tuhan. Dalam pencariannya terhadap Realitas Runggal ini, nabi Ibrahim tidak segan-segannya menggunakan konsep trial and error-kebebasan berpikIr. Matahari, gunung, bintang, dan bulan pernah ia sangka sebagai “Tuhan”, sampai akhir pergulatan pencariannya tiba kepada Allah, Tuhan Semesta Alam yang menciptakan tuhan-tuhan pendahulunya itu. Lalu muncullah ajaran tauhidisme nya, yang lebih dikenal dengan monoteisme.
Kecenderungan untuk berusaha mencari dan memahami sosok transenden ini tidak hanya dimiliki khusus oleh para nabi saja, melainkan semua manusia pun memiliki kecenderungan dan kegelisahan ke arah yang sama. Jalaluddin Rakhmat, dalam bukunya yang berjudul Psikologi Agama (hlm. 204) menuliskan bahwa kini, penelitian neurologis mengungkapkan bahwa kesadaran akan Tuhan punya dasar dalam struktur otak kita. Kita sudah dihubungkan secara biologis, wired, dengan Tuhan. Kesadaran manusia akan Tuhan merupakan fitrah yang diberikan Allah kepada semua manusia, itu menurut Islam.
Pencarian dan pemahaman akan pengetahuan Tuhan ini tidak saja panjang, melainkan terjal dan curam. Banyak sekali para “pencari” yang akhirnya terjerumus ke jurang ateisme justru pada saat ia berusaha mencari Tuhan. Tetapi tak sedikit juga orang yang akhirnya sampai pada tujuan (wushul) Di maqam inilah orang arif berada. “Kegagalan” dalam mencari Kebenaran tentu saja jauh lebih baik dibandingkan dengan orang-orang yang acuh, yang terus menerus memendam keresahan eksistensialnya dalam-dalam di relung bawah sadarnya, yang besar kemungkinan nantinya akan menimbulkan penyakit psiokspiritual atau depresi.
Seorang arif, memandang kesempurnaan itu terletak pada wushul, bukan hanya pemahaman. Ia meyakini keharusan melewati beberapa tahapan dan tingkatan tertentu, yang tanpa itu, ia tak akan berhasil mencapai wushul. Perjalanan ini dinamakan dengan sayr-suluk, yang dimulai dengan manazil, marahil, dan maqamat. Deinisi arif menurut Ibnu Sina adalah “Yang memusatkan pikiran serta hatinya pada Quds Al-Jabarut (Allah Yang Maha Suci nan Mahaagung), dan senantiasa menanti terbitnya cahaya Al-Haqq (Allah Swt.). Seorang arif menginginkan hanya Allah, bukan sesuatu selain-Nya. Tiada yang lebih dia utamakan selain ma’rifatullah. (Murtadha Muthahari : 1994).
Dalam tulisan ini, saya tidak akan menguraikan mengenai tahapan dan tingkatan seorang arif dalam menuju wushul. Tulisan ini hanya akan menguraikan tentang motivasi seorang arif dalam beribadah menyembah Allah, sebagai salah satu upaya mencapai wushul, atau mengkritisi ibadah “kita” yang dipenuhi motivasi “untung-rugi” seperti para pedagang.
Ahmad Dhani, musisi yang pernah dikecam berapa ormas Islam karena dianggap telah melakukan pensitaan terhadap agama, pernah menciptakan sebuah lagu dengan judul “Jika Surga dan Neraka Tak Pernaha Ada”. Para ahli ibadah (‘abid) yang beribadah karena dua motivasi ini tentu saja akan merasa kecewa andai saja judul lagu Dhani itu menjadi kenyataan. Bukan hanya para ‘abid, orang zahid (orang yang memalingkan diri dari kenikmatan dunia) sekalipun pasti merasakan kerugian yang mendalam tatkala hal ini benar-benar terjadi. Karena ibadah dalam konteks mereka adalah dalam rangka transaksi, seperti pekerja yang membanting tulang-peras keringat untuk mendapatkan upah berupa kesenangan ukhrawi. Sedangkan zuhud tak ubahnya seperti transaksi barter, yang menukarkan kesenangan dunia dengan kesenangan akhirat. Semuanya dipandang dalam paradigma dagang. Sementara seorang arif, ibadah dan sikap zuhud yang dilakukannya sudah keluar dari paradigma dagang ini. Ia melakukan semuanya itu bukan maruk pahala, melainkan karena kesadaran yang mendalam bahwa Allah memang pantas untuk disembah dan ibadah ditempatkan dalam rangka menjalin komunikasi suci dengan-Nya.
Pahala dan siksa, surga dan neraka memang janji Allah untuk memotivasi manusia agar taat kepada Allah dan tidak menentang-Nya. Tetapi tatkala kita beribadah hanya karena motivasi dan iming-iming ini, ada satu unsur penting yang telah kita kotori, yaitu niat. Sedangkan niat itu adalah pilar fundamental dalam setiap amal yang dilakukan manusia. Tiap-tiap amal itu dinilai dari niatnya. Kalau orang arif itu wushul nya adalah ma’rifatullah, sedangkan wushul “kita” adalah para bidadari jelita yang senantiasa suci dan sungai-sungai khamr yang berwarna-warni. Syaikh Ibnu Sina memberikan perumpamaan yang sangat indah mengenai bagaimana kesucian niat seorang arif dalam menjalankan ibadahnya, “Orang arif menyembah Allah karena memang hanya Dia-lah yang pantas disembah. Seperti seseorang yang memuji pribadi atau benda tertentu ketika melihat suatu kesempurnaan dan kemudian ditanya: Mengapa dia memujinya? Pujuian tersebut akan mendatangkan apa padanya? Maka dia akan menjawab bahwa dai tidak mengharapkan keuntungan apa-apa dari pujian itu. Dia memujinya hanya karena pribadi atau benda itu memang layak mendapatkan pujian.
Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa ada perbedaan mendasar mengenai motivasi ibadah antara seorang arif dengan ‘abid yang kering. Seorang arif menginginkan hanya Allah. Tiada yang ia inginkan selain dari pada-Nya. Dia menginginkan Allah bukan sebagai agen yang memenuhi semua nikmat-nikmatnya—baik dunia maupun akhirat. Karena kalau menempatkan Allah sebagai perantara nikmat-nikmatnya, maka tujuan esensialnya itu adalah bukan Allah, melainkan nikmat-nikmat itu. Jadi pada hakikatnya, ia hanya menghendaki dan menyembah hawa nafsu dengan menggunakan kamuflase ibadah dan niat lillahi ta’ala. Secara singkat: Seorang bukan arif menghendaki Allah dengan harapan memperoleh nikmat-nikmat-Nya; seorang arif menghendaki nikmat-nikmat itu karena berasal dari Allah Swt.
Jadi telah jelas, bahwa seorang arif menyembah Allah tidak dikarenakan iming-iming pahala dan kenikmatan lainnya. Keadaan ini sangat jauh berbeda sekali dengan “kita”. Sebelum melakukan suatu ibadah ritual tertentu, sering kali kita mengkonsultasikan dahulu dengan ustadz tentang bagaimanakah porsi pahala yang Allah janjikan. Apakah diampuni dosa setahun kebelakang, kelak tubuh kita akan diharamkan dari api neraka, mendapatkan rizki yang berlipat-lipat, dan seterusnya. Inilah yang saya katakan dengan paradigma dagang –untung rugi. Tetapi pertanyaannya selanjutnya adalah: “Bukankah Allah membolehkan bahkan mengundang kita mengharapkan nikmat-nikmat itu dengan ibadah yang kita lakukan?” Jawaban nya memang ya! Tetapi mau sampai kapan kita beribadah hanya karena menginginkan hadiah-hadiah Allah? Kapan kita bersikap “dewasa” dalam melaksanakan keberagamaan kita? Kalau kita keukeuh beribadah hanya sebatas nikmat dan ketakutan itu, apa bedanya kita dengan seorang anak kecil yang pergi mengaji karena mendapatkan uang saku dari ayahnya? Yang diinginkan si anak itu bukan ilmu hasil dari ngajinya, melainkan uang saku yang diberikan ayahnya itu. Kesimpulannya, si anak itu telah memposisikan uang saku di atas ilmunya.
Kaum arif sangat berhati-hati sekali dalam masalah ini. Jika tujuan ibadah itu adalah karena sesuatu selain Nya, maka orang tersebut telah jatuh ke jurang syirik. Lalu, kalau seorang arif tidak menghendaki sesuatu dari ibadahnya, mengapa ia tetap beribadah, bukankah setiap ibadah itu mempunyai tujuan? Jawabannya, ia menghendaki nikmat-nikmat itu lantaran semua nikmat-nikmat itu bersumber dari Allah Yang Maha Suci; dari kelembutan-Nya, dari kedermawanan dan kasih sayang-Nya; serta sifat-sifat suci Allah yang lainnya. Tujuan esensialnya bukanlah kenikmatan itu sendiri, melainkan sesuatu di balik kenimatan-kenikmatan itu.
Niat merupakan suatu bagian paling personal dalam diri manusia. Niat ini sesuatu yang tidak dapat diteliti secara empiris. Hanya orang yang bersngkutan dan Allah lah yang benar-benar mengetahui getaran setiap hatinya. Bukan hanya dalam hal ibadah, semua aktifitas apa pun yang manusia kerjakan sangat tergantung dari niat atau motifasi awalnya. Niat seakan-akan menjadi stir yang mengkontrol semua yang diperbuat manusia. Anggota dewan yang benar-benar berniat memecahkan masalah kemiskinan dan kebodohan, tentu saja akan berbeda dengan anggota dewan lain yang hanya menginginkan power atau kekuasaan saja, walaupun berangkat dari jargon dan partai politik yang sama. Anggota Dewan pertama pasti akan mengarahkan semua pikiran dan langkahnya untuk membebaskan masyarakat dari cengkeraman kemiskinan dan kebodohan, bahkan sampai berani mengambil langkah-langkah politis yang kurang populis yang dapat mengancam posisinya sendiri; sedangkan anggota dewan yang kedua sudah pasti akan mengoptimalkan seluruh daya pikiran dan langkah-langkah politisnya untuk meng”goal”kan rencana kebijakan penambahan fasilitas anggota dewan, tak peduli kalau kebijakan itu mencekik rakyat bahkan mungkin konstituen setianya sendiri.
“Pelurusan” niat dalam ibadah, baik sekali kalau kita lakukan sebagai awal latihan penyucian niat kita dari noktah-noktah nafsu dan kepentingan pribadi. Niat-niat yang tersucikan maka akan mendapatkan balasan kesucian pula. Keutamaanya melebihi dari kerajaan surgawi, bidadari nan cantik jelita, makanan yang sangat lezat, atau fasilitas lux anggota dewan.

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda