Memaknai Kebebasan



Motivasi saya mengangkat tema kebebasan dalam tulisan kali ini karena masih banyak sekali orang yang menganggap atau memahami kebebasan itu secara dangkal. Banyak orang yang memaknai kebebasan itu hanya dengan sikap ”semau gua”, permisive atau segala boleh dan serba relatif. Setiap kali mendengar kata kebebasan ini disebut, benak mereka langsung mengimajinasikan suatu ”dunia” yang tanpa aturan, nilai, moral, dan anarkis. Hanya dalam tataran inilah mereka maknai arti kebebasan.

Salah satu faktor yang melatar belakangi atau mempengaruhi sikap seseorang adalah pemahaman. Sikap orang terhadap sesuatu sangat dipengaruhi oleh pemahaman terhadap sesuatu itu. Jadi, kalau pemahamannya negatif dan kurang komprehensif maka sikap yang muncul cenderung negatif dan terdistorsi. Maka tidak heran kalau banyak sekali orang (khususnya umat muslim) yang menolak dan menyangkal kebebasan karena mereka masih memaknai kebebasan sebatas harfiah, yaitu ”bebas”. Bebas bersikap, bebas melakukan apa saja, bebas beragama dan berkeyakinan, bebas berpikiran dan berpendapat, bebas bergaul, dan bebas-bebas yang lain. Bebas-bebas ini mereka tolak karena dianggap bertentangan dengan agama yang telah mempunyai nilai-nilai dan aturan final yang harus ditaati dan tidak boleh di-bebas-kan. Dengan asumsi ini mereka menolak kebebasan dan memusuhi para pembela kebebasan.

Pertanyaan selanjutnya adalah : benarkah bahwa kebebasan itu hanya sikap dan pandangan segala boleh saja? Apakah benar kalau kebebasan tidak diajarkan dan diwahyukan Tuhan?

Pertama kali manusia dilahirkan ke dunia yang fana ini kebebasan telah melekat pada dirinya secara alamiah, dalam kebebasan yang sebebas-bebasnya. Tanpa nilai, aturan, moral, bahkan agama. Tuhan menyerahkan dan mempercayakan segalanya murni kepada manusia. Sampai akhirnya lingkungan mengajarkan dan menuntut manusia untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan aturan, nilai dan etika yang disepakati dan dianut oleh masyarakat (behaviorisme). Siapa yang berbuat diluar aturan yang telah dispakati itu maka pelakunya akan dikenakan sanksi. Karena ada sanski berarti ada batasan. Maka aturan atau batasan inilah yang membatasi kebebasan yang melekat pada tiap individu.

Saya memberikan ilustrasi di atas hanya untuk memperlihatkan bahwa tidak ada kebebasan yang sebebas-bebasnya apalagi segala boleh. Setiap masyarakat manapun pasti mempunyai aturan bersama untuk terjalinnya harmonisasi antar anggota kelompok masyarakat. Aturan atau hukum–tidak hanya sebatas hukum postif–itulah yang mengatur kebebasan individu agar tidak berbenturan dengan kebebasan individu lain. Kebebasan orang mendengarkan musik misalnya, tidak boleh mengusik kebebasan orang lain untuk merasakan kenyamanan dalam keheningan. Dengan sendirinya hukum menjadi semacam mekanisme ”penertiban” kebebasan antar individu.

Karena itu, kebebasan harusnya dipahami dalam konteks pemberian ruang dan kesempatan kepada tiap individu untuk memenuhi hak-hak pribadinya dan untuk mengaktualisasikan dirinya sebatas itu tidak bertentangan dengan hukum dan aturan. Hak-hak dasar ini juga diatur dalam konstitusi kita, seperti hak untuk berafiliasi dan menyamapaikan pendapat, hak untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan sekaligus menjalankannya, hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak, hak untuk untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama bagi setiap warga negara dan hak-hak lainnya. Singkatnya kebebasan adalah memberikan keleluasaan individu untuk memenuhi hak-haknya.

Jadi, makna kata kebebasan itu sama sekali bukan sikap permisif atau segala boleh seperti yang disangkakan para konservatif melainkan kebebasan yang mempunyai rasa tanggung jawab, kebebasan yang tidak melawan aturan dan hukum.

Islam mengajarkan tentang kebebasan dan penghormatan akan pilihan setiap individu. Kita dapat merujuk kepada dua hal; yaitu dari aspek doktrinal dan dari praktik sejarah.

Dalam level doktrinal kita akan menemukan diantaranya diktum lâ ikrâha fî al-dîn (tidak ada paksaan dalam beragama) dan lakum dîinukum wa liyadîn (untukmu agamamu dan untukmu agamaku). Melihat dua penggalan ayat Al-Quran ini dapat kita pahami bahwa Allah memberikan kebebasan yang sangat luas pada seluruh umatnya bahkan untuk tidak beragama sekalipun. Allah membebaskan manusia untuk memilih jalannya sendiri : jalan yang lurus atau yang sesat, keselamatan ataupun kecelakaan. Seperti yang dikatakan Al-Quran, andai saja seluruh umat manusia tidak taat dan menyembah Nya, maka Allah sedikitpun tidak akan rugi.

Ayat lainnya adalah “faman syâ’a falyu’min, wa man syâ’a falyakfur (barangsipa yang menghendaki bolehlah dia beriman dan barangsiapa yang menghendaki bolehlah dia kafir). Serta banyak lagi ayat-ayat lainnya yang menjamin akan kebebasan, khususnya kebebasan beragama dan berpendapat, yang tidak mungkin saya uraikan satu per satu.

Dalam periode Nabi kebebasan itu sangat dihormati. Seperti yang kita ketahui bahwa pada saat itu banyak perbedaan di anatara para sahabat dalam menerjemahkan atau memahami sunnah Nabi. Tetapi Nabi mengapresiasi perbedaan itu secara arif. Nabi pun melarang memerangi pendapat orang yang berbeda. Konon, sewaktu zaman khulafâ al-râsyidîn, ada seorang sahabat yang bernama Abu Dzar al-Ghifari. Oleh Nabi, lidahnya dijuluki sebagai orang yang paling jujur di bawah kolong langit. Itu merupakan pujian Nabi untuk seorang yang memperjuangkan kebebasan berpendapat.

Hal ini tidak berarti Islam mengajarkan relativisme-nihilistik. Tetap ada nilai ideal. Dengan kebebasan bukan berarti kita membenarkan hal-hal yang secara ideal salah. Juga bukan membenarkan pandangan atau tindakan orang lain berdasarkan keyakinan kita. Kita hanya memberikan ruang dan kesempatan yang sama bagi orang lain untuk melakukan apa yang ia yakini. Secara ideal-teologis saya percaya bahwa hukum ibadah Shalat itu wajib dan berdosa bagi umat muslimin yang meninggalkannya. Tapi keyakinan ini tidak lantas membuat saya membenci dan memaksa orang lain untuk melaksanakan Shalat juga, karena itu adalah hak pribadinya yang harus saya hormati dan terjamin kebebasannya. Adapun kewajiban saya sebagai sesama muslim adalah menasihatinya dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar, itupun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf.

Apabila kebebasan dapat terjamin maka ada beberapa implikasi postif dari hal itu, diantaranya: Pertama, dengan kebebasan yang terjamin maka hak-hak individu seperti hak beragama dan berpendapat akan lebih terjamin (orientasi demokrasi). Kedua, kebebasan yang terjamin akan memberikan stimuli atau rangsangan bagi setiap orang untuk berpikir dan bertindak lebih kreatif dan inovatif, karena tidak ada ketakutan kalau pikiran dan cara-cara ”baru” itu mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri. Ketiga, kebebasan (berpendapat) akan semakin memungkinkan terciptanya tatanan yang lebih berkeadilan karena memberikan kemungkinan yang semakin besar pada tiap masyarakat untuk menyampaikan gagasan dan aspirasinya, berpartisipasi secara lebih luas dalam pengambilan kebijakan-kebijakan publik (demokrasi deliberatif) Keempat, kebebasan (berpikir) akan memberikan peluang yang lebih besar dalam pencarian kebenaran karena dengan adanya kebebasan berpikir bisa memperkuat atau merevisi kebenaran saat ini yang telah mapan atau bahkan menemukan kebenaran-kebenaran lain yang berada di ”pinggiran”, berada di luar kebenaran dominan.

”Kebebasan dan keragaman boleh jadi meresahkan sewaktu-waktu, tetapi itulah harga yang harus kita bayar untuk menghindari kebekuan” (Baron dan Byne, dalam Jalaluddin:2005)

0 komentar:

Posting Lebih Baru Beranda