Islam dan Pluralisme



Hal ini dapat kita cari pembenarannya: Pada era Orba, ide-ide yang “merukunkan” seperti ide tentang toleransi beragama, pluralisme, dan sekularisme selalu didukung rezim yang berkuasa karena dianggap satu haluan dengan visi dan misi pemerintah. Sebaliknya, seluruh aspirasi yang kontra terhadap ide-ide ini diberangus, malah tidak sedikit dengan menggunakan cara-cara kekerasan.Sedangkan sekarang, tepatnya setelah runtuh rezim Soeharto, aspirasi-aspirasi ”pinggiran” yang dulu sempat ”sunyi” karena berhasil dibungkam oleh tangan besi pemerintah, kini mulai berkecambah di ruang publik seiring dengan bergulirnya arus reformasi yang meneriakkan tentang kemerdekaan berpendapat dan kebebasan berbeda. Ide-ide yang dahulu sedianya diajarkan di majelis-majelis tertutup dan dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi, kini biasa nampak secara vulgar di media-media Islam, surat kabar; dan dikhotbahkan dengan lantang di khalayak luas. Paham atau ide konservatif (sengaja saya menggunakan istilah teknis ini, hanya untuk membedakannya dengan ide-ide progresif seperti SIPILIS) seolah mengalami masa epifani. Dan puncaknya adalah pada saat MUI mengeluarkan 11 fatwa, yang diantaranya adalah mengharamkan ide atau paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Jadi dapat kita simpulkan, kalau dahulu mengapa paham-paham progresif bisa mendominasi, karena—diantaranya—adalah didukung penuh oleh pemerintah yang sedang berkuasa. Sebaliknya, untuk saat ini, justru paham konservatif yang merasakan at home di Indonesia karena diboncengi oleh institusi Islam terbesar di negara ini.Paham PluralismeWalaupun kini para konservatif telah dapat menguasai MUI yang notabene merupakan institusi Islam terpenting di Indoesia, namaun idealisme para kaum progresif tetap tidak dapat dibendung. Selalu saja muncul gerakan-gerakan perlawanan atas usaha hegemoni para konservatif. Tidak lelahnya mereka meneriakkan keabsahan dan urgensi ide sekularisme, pluralisme, dan liberalisme bagi kemajuan Islam dan bangsa pada umumnya.Atas kepentingan inilah, Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat, yang akrab dipanggil Kang Jalal, yang juga merupakan salah satu dari proponen Islam progresif di Indonesia menerbitkan sebuah buku tentang pluralisme yang berjudul: ISLAM DAN PLURALISME, AKHLAK QURAN MENYIKAPI PERBEDAAN. Seperti yang dikatakan Penulis sendiri, bahwa motivasi dasar dari buku ini adalah sebagai ”support teologis dengan rujukan Alqur’an langsung untuk membenarkan pluralisme dan seakan-akan menjadi sebuah jawaban terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI)”.Bukan hanya Kang Jalal yang berani keluar dan melawan main stream, banyak proponen-proponen Islam progresif lainnya yang tak takut menyuarakan pluralisme. Bahkan Ahmad Dhani, personil Band Dewa, mendukung paham ini dengan isyarat dalam lirik lagu-lagunya yang memang semakin religius--esoteris.Perdebatan tentang ide pluralisme ini merupakan perdebatan yang cukup penting dalam Islam karena telah menyangkut pada wilayah akidah atau keyakinan mendasar umat Islam. Bagaimana pandangan, legalitas dan sikap umat Islam terhadap ajaran dan pemeluk agama lain merupakan esensi yang ingin dijawab oleh paham pluralisme. Secara lebih sederhana, pluralisme adalah membicarakan tentang siapa saja yang kelak di akhirat akan selamat.Dalam sisi definisi, ada perbedaan yang sangat mendasar—karena nantinya akan sangat berpengaruh terhadap pola pikir—antara mereka yang mendukung paham pluralisme dan yang menolak paham ini. Sebagian orang yang menolak paham ini mengartikan pluralisme sebagai menyamakan semua agama. Pada tataran ini terlihat ide pluralisme sangat sederhana. Namum bagi para pluralis, seperti Kang Jalal ini, Ia tidak sependapat dengan definisi yang dilontarkan para anti-pluralimse. Ia tegaskan, bahwa pluralisme itu tidak sama dengan sinkretisme atau menyamaratakan semua agama. Tapi pluralisme meyakini bahwa semua agama itu benar sesuai dengan syariatnya masing-masing (within its cultural context) dan pluralisme merupakan sunataullah atau kehendak mutlak Allah.Pluralisme jelas berbeda dengan pluralitas. Kalau pluralitas merupakan kenyataan atau realitas sosial berupa masyarakat yang majemuk, sedangkan plurlal-isme adalah suatu paham dalam religious studies atau juga orientasi keberagamaan (baca: Islam).Pluralisme sebagai paham (isme) mempunyai beberapa implikasi, baik yang bersifat teologis maupun sosial. Implikasi teologis dari paham plurlisme ini adalah mengakui kebenaran dan legalitas agama lain di luar Islam. Paham pluralisme meyakini bahwa kebenaran dan surga itu adalah bukan hanya monopoli umat Islam saja, namun juga menyediakan tempat bagi umat lain di luar Islam. Syarat mutlaknya adalah bahwa orang tersebut harus beramal shaleh dan mempunyai kontribusi bagi kemanusiaan. Seperti pendapat Gamal Al-Banna yang menyatakan bahwa Thomas Alfa Edison yang notabene tidak memluk agama Islam kelak akan masuk surga karena ia mempunyai kontribusi yang sangat besar bagi kemanusiaan.Dalam konteks sosial, paham pluralisme ini diharapkan akan memberi ruang bagi toleransi, terlebih bagi bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Pandangan tentang siapa yang akan selamat di hari akhirat nanti akan sangat berpengaruh terhadap pandangan orang kepada agama lain. Bagi orang yang ekslusif—yang percaya bahwa kebenaran dan surga itu adalah spesial untuk orang Islam saja— yang tumbuh adalah hanyalah prasangka-prasangka sosial, dan kondisi ini dapat dipastikan akan mengancam bagi ruang toleransi. Seperti yang dikatakan Kang Jalal dalam sebuah wawancarannya dengan JIL, ”Ketika kita melihat perilaku kita jauh lebih buruk dari perilaku orang beragama lain, kita akan selalu mencari justifikasi (pembenaran) untuk kekurangan kita. Kita katakan, ”mereka berbuat baik, tapi pasti tetap masuk neraka.”Maka dari itulah, pemahaman kita terhadap paham pluralisme ini mempunyai tingkat urgensi yang begitu tinggi karena—sekali lagi—ini menyangkut kerukunan sosial, kerukunan antar umat beragama, yang akan mengancam konsolidasi demokrasi di negeri ini yang tengah menjadi agenda bersama seluruh elemen bangsa.Dengan buku ini diharapkan adanya pemahaman utuh—pemahaman yang telepas dari parsialisme dan tendensi-tendensi—terhadap paham pluralisme demi terjaganya toleransi dan akhirnya demi mewujudkan dan memelihara iklim demokratis di Indonesia.Prof. DR. Jalaluddin Rakhmat yang merupakan cendikiawan terkemuka Indonesia yang cukup otoritatif dalam bidang pluralisme dan isu wacana Islam kritis pada umumnya merupakan tokohyang cukup ideal dalam membedah dan menyajikan isu pluarlisme agama.. Doktrin pluralisme dari Jalaluddin Rakhmat sangat menarik untuk kita ”bedah” karena seperti yang telah disebutkan di atas bahwa doktrin atau paham pluralisme Jalaluddin Rakhmat berbeda dari argumen atau justifikasi para pluralis umumnya. Jalalaluddin Rakhmat mencoba mencari justifikasi pluralisme secara teologis dengan mendasarkan diri pada teks-teks agama dan penuh dengan khazanah Islam klasik.









Judul : Islam dan Pluralisme
Penulis : Jalaluddin Rakhmat
ISBN : 979-xxx-xxx-9
Penerbit : Serambi
Harga : Rp 34.900,-
Jauh sebelum Majelis Ulama Indonesia mengeluakan fatwa tentang haramnya paham sekularisme, pluralisme, dan liberalisme (SIPILIS); sebenarnya arena pertarungan ide itu telah terbuka lebar di kalangan umat muslim Indoenesia. Pluralisme ala Cak Nur dan Sekularismenya Gus Dur tidak begitu saja diterima oleh seluruh umat muslim. Banyak sekali aspirasi penolakan terhadap ide-ide—yang oleh kaum kontra sering disebut--warisan intelektual kafir ini.Dari dahulu sampai sekarang, ketegangan kreatif di kalangan internal Islam mengenai isu SIPILIS ini tidak jauh berbeda. Hanya saja, kalau dahulu perdebatan mengenai ide-ide ini didominasi oleh mereka yang pro, tetapi sekarang, walaupun hanya tampak di permukaan, justru aspirasi kontra inilah yang mendominasi umat muslim Indoesia

1 komentar:

backgroundnya bagus, cuman article-articlenya panjang banget, kalo bisa front end mah cukup summary saja, pake read more biar bisa jump ke other section

13 Oktober 2008 pukul 10.36  

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda