Menjadi Zahid


Dalam perjalanan seorang salik meretas jalan menuju ma’rifat Allah, zuhud merupakan suatu sikap yang niscaya. Sikap zuhud merupakan terminal kedua setelah taubat yang harus ditempati oleh seorang pencari Tuhan sebelum ia melanjutkan perjalanan atau suluknya ke maqam atau kelas yang lebih tinggi. Lalu, apakah arti zuhud itu?
Ali bin Abi Thalib k.w, yang oleh Rasulullah Saw dijuluki ”pintu kota ilmu” itu menjelaskan bahwa ”Zuhud tersimpul dalam dua kalimat dalam Al-Quran, supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Tidak berduka cita terhadap apa yang luput atau hilang dari genggaman atau tangan berarti tidak meletakkan kebahagiaan pada apa yang dimiliki, yang dalam hal ini berarti materi atau "dunia”. Seorang zahid tidak meletakkan hatinya pada ”dunia” dan perhiasannya, seperti: kekayaan finansial, kedudukan atau jabatan, popularitas, fasilitas hidup, dan lain sebagainya. Seorang zahid hanya mengejar kebahagiaan spiritual yang ia peroleh dengan melakaukan beberapa laku penyucian seperti ibadah shalat, puasa, membaca al-Quran, berdzikir dan ibadah-ibadah lainnya.
Sebagai manusia biasa yang terlahir dengan fitrahnya mencintai dunia, kesedihan kareana kehilangan sesuatu yang dimiliki berarti sesuatu hal yang manusiawi. Namun seorang zahid berusaha keras untuk tidak larut dalam kesedihannya, tidak mengantar nafsunya hingga menguasai dirinya, selalu mencari hikmah dari musibah yang ia alami dan lebih mendekatkan diri kepada Rabb dengan memperkuat cinta pada Nya dan meminimalisir cintanya pada sesuatu selain Tuhan.
Sewaktu Siti Khadijah meninggal, Nabi merasa kehilangan dan bersedih hati. Bahkan diriwayatkan pada saat itu beliau mengucurkan air matanya, menangis. Tapi kesedihan Nabi Suci itu berbeda dengan kita pada umumnya. Umumnya kita, sekwaktu mendapatkan musibah seperti kehilangan seseorang yang sangat kita cintai dan kita butuhkan, sering kali kita menyalahkan Tuhan walaupun tidak secara frontal. Kita terus menerus meratapi nasib sambil bersuudzon pada Tuhan dan merasa orang yang paling menderita di dunia. Sedangkan Rasulullah bersedih dan menangis itu hanya sebagai pemenuhan eksistensi kemanusiaannya saja. Sedikitpun beliau tidak bersuudzon kepada Tuhan. Malah sebaliknya, beliau semakin lebih mendekatkan dirinya kepada haribaan Tuhan. Kesimpulannya, kesedihannya itu tidak membawa ke arah yang destruktif.
Tidak mencintai dunia bukan berarti meninggalkanya, membuangnya, dan tidak memilikinya, tetapi tidak meletakkan hatinya pada dunia. Menggenggam tapi tidak meremas. Memiliki tapi tak merasa memiliki, karena seorang zahid sadar bahwa yang memiliki segala sesuatu itu hanyalah Allah. Tidak meletakkan hati pada dunia berarti hatinya tidak pernah disibukkan oleh dunia. Walaupun zahirnya terlihat seperti sedang sibuk bekerja, tapi ketahuilah bahwa para zahid itu hatinya tidak pernah berada di situ. Hatinya terbang tinggi menuju Hadirat Illahi Robbi. Dadanya bergemuruh keras berdzikir pada Sang Khalik. Berbeda dengan kita! Pada saat jasad kita sibuk mengurusi dunia, hati kita juga ikut sibuk bahkan lebih sibuk lagi. Walapun sebenarnya itu masih dapat dikatakan lumayan. Yang paling parah adalah orang yang jasadnya malas-malasan, namun hatinya sangat sibuk dengan rencana-rencana dan khayalannya tentang dunia. Naudzubillah.
Hal pertama yang dapat kita lakukan untuk menjadi seorang zahid adalah dengan menanamkan pada hati dan pikiran kita apabila menyerahkan hati dan cinta kita pada dunia maka hanyalah kepedihan yang akan kita dapatkan. Hati itu terlalu berharga kalau begitu saja kita taklukkan pada dunia yang bersifat fana dan rendah. Andai kata kebahagiaan kita letakkan pada pencapaian cita-cita dunia, lalu bagaimana nasib kebahagiaan kita pada saat cita-cita itu tidak berhasil kita gapai atau pergi meninggalkan kita. Kalau hati kita hanya kita persembahkan untuk pasangan saja, lalu bagaimana nasib hati kita tatkala pasangan kita yang sangat dicintai itu pergi meninggalkan kita? Terlalu rendah dunia ini untuk kita cintai. Kebahagiaan yang diletakkan pada dunia maka itu adalah kebahagiaan yang sangat rentan dan penuh resiko. Hati-hatilah dengan hubbudunya!
Tentulah orang bodoh yang menanyakan warna pelangi pada orang buta. Akanlah sia-sia meminta pada orang yang tak memiliki. Tanyakanlah warna pelangi pada orang yang melihat dan memintalah pada orang yang memiliki. Tentu kita akan mendapatkan kepuasan. Maka, cintailah sesuatu yang Maha Mencinta. Sayangilah yang Maha Menyayangi. Tentu kita akan mendapat balasan kepuasan.

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda