“Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia denga memurnikan ibadah kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam".
Seorang arif menginginkan hanya Al-haqq (Allah), bukan sesuatu selain-Nya. Tiada yang lebih dia utamakan daripada ma’rifatullah. Ibadahnya kepada Allah semata-mata dilakukan karena memang Dia-lah yang layak disembah, dan karena ibadah dengan sendirinya merupakan hubungan yang mulia. Ibadah dilakukan bukan karena tamak akan pahala atau takut dari siksa.
Dari segi tujuan, seorang arif jelas adalah seorang yang muwahhid (monoteis). Dia hanya menginginkan Allah, bukan sebagai perantara bagi nikmat-nikmat duniawi dan ukhrawi-Nya. Sebab kalau Allah hanya dijadikan sebagai perantara, maka yang menjadi tuntutan esensialnya adalah serangkaian nikmat itu. Jadi, pada hakikatnya, dia menyembah nikmat-nikmat tersebut atau-lebih jelasnya-dia menyembah nafsu, sebab nikmat-nikmat itu juga nantinya akan dimanfaatkan untuk memuaskan hawa nafsu.
Seorang arif menghendaki segala sesuatu semata-mata karena Allah Swt. Jika dia menghendaki nikmat-nikmat Allah, dia menghendakinya lantaran nikmat-nikmat itu berasal dari Allah; dari perhatian, kedermawanan serta kasih sayang-Nya. Seorang bukan arif menghendaki dengan Tuhan harapan memperoleh nikmat-nikmat-Nya; seorang arif menghendaki nikmat-nikmat itu karena berasal dari Allah Swt.
Di sini timbul suatu pertanyaan; Jika seorang arif tidak menghendaki sesuatu dari Allah, mengapa ia menyembah-Nya? Bukankah setiap ibadah itu mempunyai tujuan? Syaikh Ibnu sina menjawab, “Motif dan tujuan seorang arif dalam ibadah tidak keluar dari dua hal berikut ini : Pertama, kelayakan esensial Allah Swt. untuk disembah. Dia menyembah-Nya karena Allah memang pantas disembah. Seperti seorang yang memuji pribadi atau benda tertentu ketika melihat suatu kesempurnaan dan kemudian ditanya; Mengapa dia memujinya? Pujian tersebut akan mendatangkan apa padanya? Maka dia akan menjawab bahwa dia tidak mengharapkan keuntungan apa-apa dari pujian itu. Dia memuji hanya karena pribadi atau benda itu memang layak mendapatkan pujian. Demikian juga halnya dengan segala bentuk pujian dan penghargaan yang diberikan kepada tokoh-tokoh di berbagai bidang. Tujuan kedua seorang arif adalah kelayakan ibadah itu sendiri dan kemuliaan serta kebaikan esensial ibadah. Ibadah-sebagai suatu aktivitas yang dapat menghubungkan hamba dengan Tuhannya.-merupakan kegiatan yang sangat patut dilakukan. Karenanya, ibadah tidak harus identik dengan tamak akan pahala atau takut pada siksaan”.
Telah diriwayatkan dari Imam Ali a.s. bahwa beliau berkata :
“Ya Ilahi! Aku tidak menyembah-Mu karena taku akan neraka-Mu, juga tidak karena tamak akan surga-Mu, tetapi aku menyembah-Mu karena aku tahu bahwa Engkau memnag layak disembah. Mak aku pun menyembah-Mu.”
Kaum arif sangat berhati-hati dalam masalah ini. Jika tujuan dan tuntutan manusia dalam hidup-khususnya ibadah-itu adalah sesuatu selain dari Zat Suci Allah Swt, maka dia telah jatuh dalam jurang syirik (menyekutukan Allah Swt.).

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda